- Stock: Stok Tersedia
- Penulis: Fenty Effendy
- Penerbit: Noura Books
- Model: 9786023852741
- MPN: ND-269
Pengiriman Ke DKI JAKARTA Ongkos Kirim Rp 0 Khusus member Grobprime (GRATIS TRIAL) | JOIN |
Deskripsi
Mei 2011, di hari ulang tahunnya yang ke-21, Willy didiagnosis kanker otak stadium 3B. Kondisinya memburuk meski telah dioperasi hingga hanya bisa terbaring lumpuh. Beruntung ayahnya membaca berita di sebuah koran tetang alat penghambat laju kanker yang diciptakan Warsito. Setelah 1 minggu memakai helm anti-kanker, Willy bisa bergerak dan berdiri. Dua bulan kemudian, sel kanker di otaknya tidak lagi terdeteksi CT-Scan. Pada 2014, Willy bahkan menikah.
Kisah Willy menyebar begitu cepat dan alat itu pun diburu ribuan orang. Meskipun belum 100%, karya penerima B.J. Habibie Technology Award (2015) ini, telah menyelamatkan banyak nyawa. Kontroversi bergulir dari berbagai kalangan bahkan sampai sekarang. Inilah kisah tentang harapan, perjuangan, dan nilai-nilai kemanusian yang sudah jarang menjadi standar kehidupan kita dan sering terkalahkan oleh hal-hal berbasis materi. Diperlukan sinergi dan dukungan dari berbagai pihak agar penemuan ini bisa bermanfaat bagi masyarakat luas seperti yang diingini Warsito. Membaca kisah masa kecil Warsito yang sangat sederhana di pelosok Jawa Tengah, perjalanan sekolahnya ke Jepang yang mengantarkannya menjadi peneliti kelas dunia tak hanya menginspirasi, tetapi juga mengorbankan semangat pantang menyerah.
***
“Pak Warsito adalah pahlawan saya, dan pahlawan bagi banyak teman saya penerima kanker Indonesia dan berbagai negara lainnya. Inovasinya berhasil membantu kami mengatasi sel kanker kami. Kelembutannya dan kehalusan budinya membuat kami merasa tenang lahir batin, semangat, dan penuh percaya diri dalam petualangan kanker kami. Banyak sekali teman yang tadinya putus asa dan demotivasi, kembali bersemangat dengan metode yang ditemukannya. Kesembuhan selalu ada di tangan-Nya dan kami sangat bersyukur Allah hadirkan satu lagi pilihan bagi kami sebagai tangan-Nya membantu kami di muka bumi ini. Semoga Allah terus berkahi jalannya, agar membawa berkah bagi semesta, membawa kebaikan bagi Pak War di bumi dan di langit. Aamiin.†—Indira Abidin, Pendiri dan Ketua Umum Lavender Ribbon Cancer Support Group/Yayasan Lavender Indonesia
“Warsito Purwo Taruno adalah salah satu contoh bagaimana negara ini menghasilkan ilmuwan dan teknologi. Dalam buku yang ditulis dengan sangat baik oleh Fenty Effendy ini, dijelaskan kiprahnya sejak masih di sekolah hingga mengembangkan teknologinya di Amerika dan perjuangannya membangun lembaga penelitian swasta di Indonesia. Warsito bukan hanya seorang peneliti, dia mendidik, membangun jaringan penelitian di banyak universitas negeri maupun swasta se-Indonesia. Dia membangun organisasi, mengumpulkan ilmuwan dan teknolog untuk lebih berkontribusi, berjejaring, dan mengadvokasi kebijakan.†—A.M Fatwa, Anggota DPD
“Sebagai sebuah aplikasi bikinan anak negeri yang menghubungkan antara kebutuhan penumpang dengan tukang ojek, Go-Jek termasuk beruntung bisa hidup dan berkembang kendati pada mulanya terhambat aturan. Kusrin, warga biasa yang ratusan televisi rakitannya sempat dimusnahkan dengan alasan tidak memiliki Sertifikat Standar Nasional Industri, bisa merakit televisi lagi setelah pemerintah melalui Departemen Perindustrian turun tangan. Namun, nasib baik dua kreator anak negeri ini tidak mampir ke Warsito Purwo Taruno, penemu Electrical Capacitive Cancer Teraphy (ECCT), teknologi penghambat laju kanker yang lahir dari situasi tak terduga. Penemuannya tidak diakui pemerintah dengan alasan belum atau tidak ada aturan yang mendukungnya. Tampaknya, Warsito harus menunggu entah berapa tahun lagi sampai akhirnya semua pihak, termasuk pemerintah dalam hal ini, mengakui penemuannya bermanfaat untuk banyak orang."
“Sejatinya, penemuan hasil penelitian mendalam, apalagi dengan mengaplikasikan langsung kepada penggunanya, nasibnya seharusnya berada di tangan pengguna yang merasakan manfaatnya. Orientasi pada pengguna dalam hal ini penderita kanker, bukan berkutat pada masalah tidak adanya peraturan dan perizinan yang bisa diubah atau bahkan diabaikan sebagaimana terjadi pada Go-Jek. Jika dirasakan manfaat dan maslahatnya, misalnya penggunaan alat ECCT bisa jauh lebih efektif, aman, dan murah, mengapa harus dihambat. Jangan-jangan ini persoalan bisnis pengadaan alat pendeteksi kanker serupa buatan luar negeri yang mahal itu, yang kalau didatangkan ke Indonesia bisa mendatangkan komisi. Jangan-jangan ada pula persaingan tidak sehat di mana anak bangsa sendiri tidak boleh ada yang maju dan bersinar. Menjadi menarik, Warsito lama bersekolah dan menjadi peneliti di luar negeri, sedangkan penemuannya, yakni ECCT, yang semula berbentuk kutang karena lebih dikhususkan bagi penderita kanker payudara, ditemukan dan dikembangkan di Indonesia dengan kakaknya sendiri sebagai ‘kelinci percobaan’."
“Warsito tentu saja bukan Ibnu Sina atau dunia Barat menyebutnya sebagai Avicenna yang lebih dikenal sebagai ahli kedokteran. Namun demikian, ada kesamaan dalam hal lintas batas ilmu yang digeluti. Selain ahli kedokteran, Ibnu Sina dikenal sebagai filsuf, sastrawan, sekaligus ilmuwan. Warsito juga memiliki kemampuan lintas ilmu yang tidak semua orang bisa melakukannya. Ia peneliti, fisikawan, sekaligus penemu alat pendeteksi penyakit kanker. Kedokteran memang identik dengan disiplin ilmu biologi. Namun, berbagai alat kedokteran, tentu saja tidak bisa ditemukan oleh ahli biologi bahkan ahli kedokteran. Urusan gelombang listrik dengan algoritma cerdas yang bisa ‘meramalkan’ atau mendeteksi adanya suatu penyakit, para fisikawanlah yang berperan, salah satunya tentu saja Warsito. Dunia mengakui penemuannya, penderita kanker sudah merasakan manfaatnya, kini inggal pejabat pemerintah Indonesia saja yang mungkin akan mengakuinya belakangan, tetapi entah kapan.†—Pepih Nugraha, CEO Selasar
Tanggal terbit Mei 2017
Penerbit Noura Books
Dimensi 15 cm x 23 cm
ISBN 9786023852741
Halaman 352 + 12 Hal Gallery (364 hal)