- Stock: Gudang Penerbit
- Penulis: Putu Fajar Arcana (Author)
- Penerbit: Informatika
- Model: 9789797098452
Pengiriman Ke DKI JAKARTA Ongkos Kirim Rp 0 Khusus member Grobprime (GRATIS TRIAL) | JOIN |
Deskripsi
Cermin Dibelah salah satu favorit saya dari sekian monolog karya Bli Can. Naskah ini membuat saya terbayang-bayang ingin berada di panggung. Membayangkannya saja sudah senang. Saya seolah bisa jumpalitan dan bisa menjadi apa saja. Bli Can yang santun tetapi dalam dia bertutur sering mengagetkan saya. Di balik santunnya dia begitu menohok dan membuat saya secara pribadi terobsesi. Bahwa suatu saat nanti, saya harus memainkannya di atas panggung. Saya ingin menjadi apa yang dikisahkan Bli Can dalam monolog-monolognya. Karakternya kuat dan terutama, selalu memiliki konteks. Itulah yang membuat kisah-kisah dalam buku ini seperti hidup dan bernyawa di hadapan kita. (Happy Salma, aktris dan sutradara)
Monolog ini bila dimainkan di saat ditabukannya usaha menyentuh pejabat, akan bisa membuat penonton histeris. Tetapi kini keadaan sudah berbeda. Toh keberanian itu tetap memiliki daya pikat, bila aktor dan sutradaranya lihai memberi sudut pandang baru. Karena kalimat-kalimat Can, menyimpan pesan dan daya pukau. Lakon politik bukan hanya dulu, kini pun tetap akan jadi suguhan menarik. Karena tetap saja, bahkan kian "menyebalkan", masih saja ada orang yang sudah ketahuan belangnya, berani mencoba meyakinkan kita, bahwa dia bersih. "Saudara-saudara siapa pun itu, tolong selamatkan saya. Tidakkah hati Saudara-saudara terketuk mendengar permohonan saya. Saya benar-benar ingin bertobat, kembali ke jalan semula." Can penyair yang wartawan, sudah menjepret dengan kepenyairannya, sebuah kebohongan politik. (Putu Wijaya, sutradara teater dan sastrawan)
Sejak awal berkesenian, seputar tahun 1985, Putu Fajar Arcana telah menulis naskah panggung, bahkan menjadi aktor dalam drama kolosal bertajuk Rama Bhargawa garapan Sanggar Putih Denpasar. Sejak itu dari tangannya mengalir puisi, cerpen, novel, dan esai. Sederas itu pula lahir tulisan jurnalistiknya, termasuk lawatan budaya ke berbagai kota lintas benua, pusat-pusat kesenian dunia. Sosok-sosok yang dihadirkan Can terasa kontekstual dengan kenyataan kita. Namun ia mengelak ungkapan-ungkapan klise penuh retorika, atau sekadar pernyataan kritis permukaan, melainkan mengeksplorasi secara ironis lapis-lapis psikologis tokoh-tokohnya. Melalui lakon-lakon ini, penulis tengah mengingatkan, “Betapa cerdas dapat tergelincir menjadi culas, cerdik berakhir sebagai licik, justru sewaktu seseorang didaulat jadi tokoh terhormat mewakili rakyatâ€.