- Stock: Stok Tersedia
- Penulis: none 1
- Penerbit: Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)
- Model: 9786023750009
- MPN: 571510008
Pengiriman Ke DKI JAKARTA Ongkos Kirim Rp 0 Khusus member Grobprime (GRATIS TRIAL) | JOIN |
Deskripsi
Setting dalam sebuah novel memang bukan suatu hal yang teramat substansial dibanding isi cerita dan alur. Namun, tanpa setting , sebuah novel akan menjadi abstrak. Dalam Api Awan Asap (AAA) , setting yang dipilih pengarang adalah tanah kelahirannya, Kalimantan Timur. Kalau menurut logika, mestinya novel ini berjudul “Api Asap Awan”, sebab awan adalah butiran air atau es kecil yang terlihat mengelompok di atmosfer, yang terjadi karena bantuan debu atau asap akibat industri yang higroskopik. Agaknya, pengarang secara sadar tidak mengikuti alur seperti itu. Dengan AAA, pengarang mendeskripsikan paradoks antara kearifan tradisional masyarakat Dayak mengelola hutan di satu pihak dan tindakan pengusaha HPH dan HTI di pihak lain yang membuka hutan Kalimantan Timur dengan cara membakar lahan. [...]”Bau asap api menyeruak dari luar lou. Kebakaran hutan seperti momok dan hantu yang menyerang kawasan desa dan kota. Di cakrawala menggantung awan-awan asap yang datang dari berbagai arah... mendung yang menggantung, bukan mendung mengandung hujan, tapi mendung asap api yang datang dari lahan orang kaya dari kota” (hal. 34). Pembakaran hutan oleh HPH dan HTI inilah penyebab kawasan Kaltim tidak hanya berawan (cloudy), tetapi juga tertutup awan (overcast). Karena mengenal setting, pengarang dengan amat cermat melukiskan suasana. Kita diajak mengembara, memasuki belantara di mana indigenous people (Dayak Benuaq) bermukim, menyatu dengan alam dan hidup bergantung pada alam. Di sebuah kawasan, tepi Sungai Nyawatan, penduduk membangun lou (betang, rumah panjang). Dari lou itu, dua sahabat―Jue dan Sakatn―setelah menempuh perjalanan 300 kilometer, memasuki gua untuk mengambil sarang burung walet. Jue yang baru sebulan menikahi Nori, putri Petinggi Jepi, bertugas masuk ke dalam gua sambil pinggangnya diikat dengan tali plastik; sementara Sakatn menunggu di luar. Karena diam-diam Sakatn juga mencintai Nori, Sakatn lalu mengerat tali plastik itu. Akibatnya, Jue tersesat dalam gua yang gulita. Dua puluh tahun setelah peristiwa itu terjadi, tatkala malam terakhir dari delapan malam upacara perkawinan adat Sakatn-Nori, tiba-tiba Pune, putri Nori dari bibit Jue, terperosok dalam sebuah lubang aneh. Kakinya terasa dipegang orang dari bawah tanah. Orang-orang mengira yang mencekal kaki Pune adalah hantu tanah. Namun, setelah khalayak ramai-ramai menarik Pune dari longsoran tanah, tiba-tiba muncul seseorang seperti manusia purba ke permukaan tanah. Badannya putih pucat karena tak pernah kena sinar matahari, rambutnya panjang melewati tumit, dan matanya sipit. Tak ada yang bisa mengidentifikasi bahwa manusia tanah yang dikira tonoy itu adalah Jue, kecuali Nori dan Petinggi Jepi. Adegan yang penuh suspense itu, sekadar menunjukkan salah satu kelebihan pengarang di dalam bertutur. Hal ini tentu semakin memperkuat setting dalam novel ini yang juga menekankan betapa sebenarnya orang Dayak (Benuaq) sangat memperhatikan pelestarian lingkungan hidup. Unsur-unsur magis khas suku Benuaq juga diangkat penulis, membuat bulu kuduk berdiri. Ternyata, lubang celaka yang merongga, yang mencederai Pune, persis di situ dahulu berdiri sepokok beringin. Beringin itu ditebang, dibakar, lalu di atasnya didirikan lou (hal. 101). Kini areal sekitar pohon beringin itu dijadikan arena untuk urusan upacara. Dengan demikian, AAA boleh disebut “jilid kedua” dari novel Korrie sebelumnya―yang juga memenangkan sayembara penulisan roman DKJ 1976 dan mengambil setting Kalimantan Timur―Upacara . Dan menurut saya, AAA dari segi mutu dan teknik penceritaan, tak kalah dibanding Upacara . Bahkan, jauh lebih dahsyat! Dan juga jauh lebih matang. ―R. Masri Sareb Putra
Tanggal Terbit : 18 Mei 2015
ISBN : 9786023750009
Penerbit : Grasindo